A.
PENDAHULUAN
Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam
mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari
kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang
bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui
kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang
ditunjukkannya.
Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah
Istinbath dari segi kebahasaan, salah satunya adalah lafadz ‘am dan lafadz khas.
Di dalam makalah ini akan membahas lafadz ‘am dan lafadh khas secara
lebih mendalam.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari pemaparan pendahuluan di atas ,
terdapat permasalahan – permasalahan sebagai berikut:
1. Apa pengertian lafadz ‘Am dan Khas, dan apa saja bentuk –
bentuknya?
2. Apa saja macam – macam ‘am?
3. Bagaimana dalalah lafadz ‘Am dan Khas?
C.PEMBAHASAN
1. Pengertian
Lafadz ‘am dan Khas
‘Am menurut bahasa artinya merata, atau yang umum. Sedangkan menurut istilah ialah lafadz yang meliputi pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu.
Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.Misalnya Al- Insan yang berarti manusia. Perkataan ini mempunyai pengertian umum, jadi semua manusia termasuk dalam tujuan perkataan ini,sekali mengucapkan lafadz Al- Insan berarti meliputi jenis manusia seluruhnya. Jadi, dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya keumuman merupakan bagian dari sifat – sifat lafadz. Karena keumuman adalah dalalah lafadz terhadap penghabisan seluruh satuan – satuannya.Sesungguhnya lafadz apabila menunjukkan pada satu individu atau dua individu, atau jumlah terbatas daripada individu – individu maka ia tidaklah termasuk lafadz umum[1].
‘Am menurut bahasa artinya merata, atau yang umum. Sedangkan menurut istilah ialah lafadz yang meliputi pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu.
Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.Misalnya Al- Insan yang berarti manusia. Perkataan ini mempunyai pengertian umum, jadi semua manusia termasuk dalam tujuan perkataan ini,sekali mengucapkan lafadz Al- Insan berarti meliputi jenis manusia seluruhnya. Jadi, dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya keumuman merupakan bagian dari sifat – sifat lafadz. Karena keumuman adalah dalalah lafadz terhadap penghabisan seluruh satuan – satuannya.Sesungguhnya lafadz apabila menunjukkan pada satu individu atau dua individu, atau jumlah terbatas daripada individu – individu maka ia tidaklah termasuk lafadz umum[1].
Adapun lafadz Khas menurut bahasa ialah
lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu,
tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm.
Menurut istilah, definisi khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu. Seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan orang, sekelompok orang dan lain sebagainya yang terdiri dari lafadz yang menunjukkan sejumlah individu dan tidak menunjukkan terhadap seluruh individu. Artinya tidak mencakup semua, namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.[2]
Menurut istilah, definisi khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu. Seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan orang, sekelompok orang dan lain sebagainya yang terdiri dari lafadz yang menunjukkan sejumlah individu dan tidak menunjukkan terhadap seluruh individu. Artinya tidak mencakup semua, namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.[2]
Bentuk-bentuk lafadz ‘am dan Khas
Adapun bentuk-
benuk lafadz yang mengandung arti ‘am
dalam bahasa Arab banyak sekali, di antaranya adalah:
a. Lafadz كل (setiap) dan جامع (seluruhnya).
a. Lafadz كل (setiap) dan جامع (seluruhnya).
Misalnya:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ:
Artinya:“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (Ali ‘Imran, 185)
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
Artinya; “Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara keseluruhan (jami’an)”. (Al-Baqarah:29)
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ:
Artinya:“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (Ali ‘Imran, 185)
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
Artinya; “Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara keseluruhan (jami’an)”. (Al-Baqarah:29)
Lafadz كل dan حامع tersebut di atas, keduanya mencakup
seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya.
b. Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya. Seperti:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
Artinya: “Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya”. (Al-Baqarah:233)
Kata al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu.
c. Kata benda tunggal yang di ma’rifatkan dengan alif-lam.
Contoh:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al_baqarah: 27) Lafadz al-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
d. Lafadz Asma’ al-Mawsul. Seperti ma, al-ladhina, al-ladzi dan sebagainya. Salah satu contoh adalah firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang (al-ladzina) memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala”. (An-Nisa:10)
e. Lafadz Asma’ al-Syart (isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan), seperti kata ma, man dan sebagainya. Misalnya:
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا
Artinya : “dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah”.(An-Nisa’:92)
f. Isim nakirah dalam susunan kalimat naïf (negatif),
b. Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya. Seperti:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
Artinya: “Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya”. (Al-Baqarah:233)
Kata al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu.
c. Kata benda tunggal yang di ma’rifatkan dengan alif-lam.
Contoh:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al_baqarah: 27) Lafadz al-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
d. Lafadz Asma’ al-Mawsul. Seperti ma, al-ladhina, al-ladzi dan sebagainya. Salah satu contoh adalah firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang (al-ladzina) memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala”. (An-Nisa:10)
e. Lafadz Asma’ al-Syart (isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan), seperti kata ma, man dan sebagainya. Misalnya:
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا
Artinya : “dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah”.(An-Nisa’:92)
f. Isim nakirah dalam susunan kalimat naïf (negatif),
seperti kata لَا جُنَاحَ dalam ayat
berikut:
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Artinya: “dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya”. (Al-Mumtahanah:10).[3]
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Artinya: “dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya”. (Al-Mumtahanah:10).[3]
Dengan demikian semua lafadz- lafadz tersebut
ditetapkan dalam bahasa dengan suatu ketetapan yang hakiki untuk menunjukkan
pada seluruh satuan – satuannya.
Sedangkan lafal
khas bentuknya ada beberapa macam diantaranya:
- Berbentuk muthlak
yaitu lafal khas yang tidak ditentukan dengan sesuatu.Contohnya, hukum zakat
fitrah adalah satu sho’.
- Berbentuk
khas(muqoyyad) lafal khas yang ditentukan dengan sesuatu.Contohnya, masalah
bersuci.
- Berbentuk amr yaitu
kata yang mengandung arti amar atau berbentuk
khabar,dan hukumnya wajib. Contonya, wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru.
- Berbentuk nahiy yaitu
mengandug arti larangan dan hukumnya haram.
2. Macam-macam
lafadz ‘am
Melihat bentuk lafadz
di atas, dapat diambil bahwa lafadz yang menunjukkan arti umum ada 3 macam, di
antaranya adalah:
a. Lafadz ‘am yang yang tidak mungkin bisa ditakhsis. Misalnya:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
Artinya: Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. .( Hud:6).
Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.
b. Lafadz ;am yang bisa ditakhsis, karena ada dalil dan bukti yang menunjukkan kekhususannya. Contohnya:
مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ
Artinya: Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120).
Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tapi hanya orang-orang yang mampu.
c. Lafadz ‘am yang memang di pakai untuk hal – hal yang khusus, seperti lafadz umum yang tidak ditemukan adanya tanda yang menunjukkan ditakhsis. Contoh:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.( Al-Baqarah: 228).
Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.[4]
3. Dalalah Lafadz ‘am dan Khas
Jumhur Ulama, di antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafadz ‘am itu dzanniy. Dalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian pula, lafadz ‘am setelah di-takhshish, sisa satuan-satuannya juga dzanniy dalalahnya, sehingga terkenallah di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyah yang berbunyi:
مَا مِنْ عَامٍ إِلاَّ خُصِّصَ
Artinya: “Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshish”.
Oleh karena itu, ketika lafadz ‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan pentakhshishnya. Berbeda dengan jumhur ulama’. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafadz ‘am itu qath’iy dalalahnya, selagi tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena lafadz ‘am itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali. Sebagai contoh, Ulama Hanaifiyah mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa menyebut basmalah, karena adanya firman Allah yang bersifat umum, yang berbunyi:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
Artinya: “dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya”. (Al-An`âm:121)
Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi yang berbunyi:
المْسْلِمُ يَذْبَحُ عَلَى اسْمِ اللهِ سَمَّى أَوْ لمَ يُسَمِّ . (رواه أبو داود)
Artinya; “Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar menyebutnya atau tidak.” (H.R. Abu Daud)
Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qath’iy, baik dari segi wurud (turun) maupun dalalah-nya, sedangkan hadits Nabi itu hanya dzanniy wurudnya, sekalipun dzanniy dalalahnya.
Ulama Syafi’iyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat ditakhshish dengan hadits tersebut. Karena dalalah kedua dalil itu sama-sama dzanniy. Lafadz ‘am pada ayat itu dzanniy dalalahnya, sedang hadits itu dzanniy pula wurudnya dari Nabi Muhammad SAW. [5]
Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain.
a. Lafadz ‘am yang yang tidak mungkin bisa ditakhsis. Misalnya:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
Artinya: Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. .( Hud:6).
Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.
b. Lafadz ;am yang bisa ditakhsis, karena ada dalil dan bukti yang menunjukkan kekhususannya. Contohnya:
مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ
Artinya: Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120).
Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tapi hanya orang-orang yang mampu.
c. Lafadz ‘am yang memang di pakai untuk hal – hal yang khusus, seperti lafadz umum yang tidak ditemukan adanya tanda yang menunjukkan ditakhsis. Contoh:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.( Al-Baqarah: 228).
Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.[4]
3. Dalalah Lafadz ‘am dan Khas
Jumhur Ulama, di antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafadz ‘am itu dzanniy. Dalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian pula, lafadz ‘am setelah di-takhshish, sisa satuan-satuannya juga dzanniy dalalahnya, sehingga terkenallah di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyah yang berbunyi:
مَا مِنْ عَامٍ إِلاَّ خُصِّصَ
Artinya: “Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshish”.
Oleh karena itu, ketika lafadz ‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan pentakhshishnya. Berbeda dengan jumhur ulama’. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafadz ‘am itu qath’iy dalalahnya, selagi tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena lafadz ‘am itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali. Sebagai contoh, Ulama Hanaifiyah mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa menyebut basmalah, karena adanya firman Allah yang bersifat umum, yang berbunyi:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
Artinya: “dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya”. (Al-An`âm:121)
Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi yang berbunyi:
المْسْلِمُ يَذْبَحُ عَلَى اسْمِ اللهِ سَمَّى أَوْ لمَ يُسَمِّ . (رواه أبو داود)
Artinya; “Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar menyebutnya atau tidak.” (H.R. Abu Daud)
Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qath’iy, baik dari segi wurud (turun) maupun dalalah-nya, sedangkan hadits Nabi itu hanya dzanniy wurudnya, sekalipun dzanniy dalalahnya.
Ulama Syafi’iyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat ditakhshish dengan hadits tersebut. Karena dalalah kedua dalil itu sama-sama dzanniy. Lafadz ‘am pada ayat itu dzanniy dalalahnya, sedang hadits itu dzanniy pula wurudnya dari Nabi Muhammad SAW. [5]
Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain.
Misalnya, firman Allah:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ
Artinya:” Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji..(Al-Baqaarah :196)
Lafadz tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy.
Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain.
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ
Artinya:” Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji..(Al-Baqaarah :196)
Lafadz tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy.
Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain.
Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:
فِيْ كُلِّ أَرْبَعِيْنَ شَاةً شَاةٌ
Artinya: “pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing”.
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas. Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri.
فِيْ كُلِّ أَرْبَعِيْنَ شَاةً شَاةٌ
Artinya: “pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing”.
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas. Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri.
Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy.
Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang
mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk
menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan
memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor
kambing yang dizakatkan.[6]
D. KESIMPULAN
1.
Lafadz ‘am adalah lafadz yang bermakna umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadz itu dan
tidak terbatas pengertiaannya.Lafadz khas adalah lafadz yang menunjukkan arti
tertentu, tidak meliputi arti umum.
Bentuk – bentuk lafadz ‘am antara lain:
Lafadz
كل
(setiap) dan جامع (seluruhnya), kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di
awalnya, kata benda tunggal yang di ma’rifatkan dengan alif- lam, lafadz
Asma’ al-Mawsul, afadz Asma’ al-Syart
(isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan),
isim nakirah dalam susunan kalimat naïf
(negatif),
Adapun lafal
khas bentuknya ada beberapa macam diantaranya: berbentuk muthlak, berbentuk
khas muqoyyad, berbentuk amr, dan berbentuk nahi.
2. Adapun macam – macam lafadz ‘am antara lain:
Lafadz ‘am yang
yang tidak mungkin bisa ditakhsis, Lafadz ;am yang bisa
ditakhsis, Lafadz ‘am yang memang di pakai untuk hal – hal yang khusus.
3. Dalalah Lafadz ‘am dan Khas
Jumhur Ulama, di antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafadz ‘am itu dzanniy. dalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Sedangkan dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain.
Jumhur Ulama, di antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafadz ‘am itu dzanniy. dalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Sedangkan dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain.
E. PENUTUP
Demikianlah makalah
yang kami susun pada kesempatan kali ini. Karena kami hanyalahmanusia biasa yang syarat akan
kekhilafan – kekhilafan. Oleh karena itu saran dan kritik sangat kami harapkan.
Semoga apa yang kami
tulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam mendalami ilmu usul fiqih dan
kami minta maaf yang sebesar – besarnya.
F.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulwahab Khallaf, Ilmu usul fiqih, Dina Utama, Semarang,1994
Khoirul Umam, Achyar Aminudin, Ushul Fiqih 11, CV Pustaka Setia,Bandung,
2001
Syafi’I Karim, Fiqih Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung, 1997
Ma’sum Zainy.dkk, Ilmu Ushul Fiqih, Darul Hikmah Jombang, 2008
[1]
Khoirul Umam, Achyar Aminudin, Ushul
Fiqih 11, CV Pustaka Setia,(Bandung:2001), hlm 61
[2]
.Abdulwahab Khallaf, Ilmu usul fiqih,
Dina Utama, (Semarang:1994), hlm 278
[3] . Khoirul Umam, Achyar Aminudin op.cit, hlm. 68
[4] Syafi’I
Karim, Fiqih Ushul Fiqih, CV Pustaka
Setia, (Bandung: 1997), hlm.153
[5] Abdulwahab Khallaf. Op.Cit ,hlm.282
[6] . Ma’sum Zainy.dkk, Ilmu Ushul Fiqih, Darul
Hikmah,(Jombang:2008), hlm.206
0 komentar:
Posting Komentar